PERAN APOTEKER DALAM MENINGKATKAN TERAPI PENYAKIT ASMA DI RUMAH TAHANAN (RUTAN)

Riska Safitri, S.Farm, Sony Dermawan, S.Farm dan Dr.apt. Ifmaily, M.Kes
Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
Universitas Perintis Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]

Penyakit asma berasal dari kata “asthma” dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Menurut Scadding dan Godfrey, asma merupakan penyakit yang ditandai dengan variasi luas dalam waktu yang pendek terhambatnya aliran udara dalam saluran nafas paru yang bermanifestasi sebagai serangan batuk berulang atau mengi (bengek/w/zeez/ng) dan sesak nafas biasanya terjadi di malam hari. Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia yang bervariasi antara 5-30% (berkisar 17,4%). Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5 % penduduk Indonesia menderita asma (Rahmawati dkk, 2003; Mangunegoro, 1991; Dahlan, 2000).
Menurut data The Global Asthma Report pada tahun 2014 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah 325 juta orang dengan angka prevalensi yang terus meningkat terutama pada anak-anak (Global Astmha Network, 2014). Prevalensi asma meningkat 5-30% dalam satu dekade terakhir. World Health Organisation (WHO) memperkirakan 235 juta penduduk dunia menderita asma dan paling sering terjadi pada anak. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Mei tahun 2014, angka kematian akibat penyakit asma bronkial di Indonesia mencapai 24.773 orang atau sekitar 1,77 persen dari total jumlah kematian penduduk. Setelah dilakukan penyesuaian umur dari berbagai penduduk, data ini sekaligus menempatkan Indonesia di urutan ke-19 di dunia perihal kematian akibat asma bronkial (WHO, 2016).

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada tahun 2003. DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5% pada tahun 2007. Berdasarkan Kemenkes RI Prevelensi penyakit asma pada tahun 2018 meningkat sebesar 22,8% (Kemenkes RI, 2018).

Rumah tahanan atau lebih sering dikenal dengan kata penjara selalu diidentik dengan ruangan yang penuh sesak, tidak begitu terawat dan kurang ventilasi karenanya sangat memungkinkan timbulnya berbagai penyakit. Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) atau biasa disebut juga dengan rumah tahanan (Rutan) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana atau warga binaan pemasyarakatan di Indonesia. Kondisi penjara yang kurang memadai tentunya menjadi faktor risiko timbulnya berbagai penyakit menular maupun tidak. Selain berfungsi sebagai tempat pembinaan bagi narapidana, juga menyediakan tempat pelayanan kesehatan bagi narapidana. Pelayanan kesehatan bagi narapidana ini merupakan salah satu faktor penunjang dari Program Pembinaan Jasmani dan Rohani terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan/ rumah tahanan.

Lingkungan rumah tahanan yang biasanya tidak terawat dengan baik atau kondisi ruangan yang tidak bersih. Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi tiga domain besar, yaitu alergen, iritan, dan hal-hal lain yang tidak tergolong dalam alergen maupun iritan (State of the Region’s Health, 2002). Faktor risiko asma yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari faktor internal (host factor) dan faktor eksternal (environmental factor). Faktor internal terdiri dari genetik, obesitas, jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau berlebihan. Sedangkan faktor eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus di saluran nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan, dan perubahan suhu terkait perubahan musim atau kondisi geografis lainnya (Suyono, 2001; Gina, 2008).

Ada beberapa gejala penyakit asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala pada penyakit asma ada dua yaitu gejala awal dan gejala berat. Gejala awal penyakit berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya, rasa berat di dada dan dahak sulit keluar. Gejala yang tergolong berat adalah keadaan gawat darurat yang nmengancam jiwa. Yang termasuk kedalam gejala yang berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur (posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk) dan kesadaran menurun (DepKes RI, 2007).

Dalam meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup narapidana penghidap penyakit asma agar dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitasnya maka pentingnya peran apoteker dalam penatalaksaan terapi obat – obatan penyakit asma pada narapidana. Terapi pada asma dibagi dengan 2 terapi yaitu terapi pelega dan terapi pengontrol. Terapi pelega memiliki prinsip untuk memlebarkan jalan napas melalui reklasasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat penyempitan saluran di paru-paru yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki peradangan pada jalan napas atau menurunkan sensitivitas jalan napas. Sedangkan terapi pengontrol adalah pengobatan asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma agar terkontrol pada asma kronis (DepKes RI, 2007).

Pengobatan asma merupakan pengobatan jangka panjang (long term medication), oleh karena itu kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran penting apoteker dalam penyampaian informasi dan edukasi melalui komunikasi ini sebaiknya juga didukung dengan sarana tambahan seperti peragaan pemakaian inhaler, rotahaler yang dapat meningkatkan pemahaman pasien. Dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan asma jangka panjang akan lebih baik apabila seorang apoteker menjelaskan terkait jumlah obat yang dipergunakan, dosis perhari, serta efek samping dari obat yang digunakan serta membantu para narapidana penghidap penyakit asma dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam penggunaan obat, jika perlu dengan melibatkan tenaga kesehatan lain. Dengan adanya peran apoteker di rumah tahanan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup narapidana penghidap penyakit asma dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Serta diharapkan narapidana dapat menjaga hygenitas dan sanitasi dalam rumah tahanan.

Dari hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peran apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat dengan cara memberikan informasi dan edukasi terkait penggunaan obat. Dengan ada nya apoteker di rumah tahanan dapat diharapkan meningkatkan kulaitas hidup para narapidana serta apoteker harus lebih berperan aktif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya kepada pasien yang ada dirumah tahanan yaitu para narapidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.