Kematian Penyu Belum Ada Solusi

BENGKULU, phrnews.id – Pemerintah Provinsi Bengkulu bersama BKSDA dan Dinas LHK menyatakan kematian penyu beberapa waktu lalu bukan karena limbah PLTU Teluk Sepang. Melainkan, kematian penyu karena adanya bakteri salmonelanesis dan bakteri pembusuk, sedangkan toxicologi perut penyu masih dalam ambang batas dan tidak menunjukkan nilai yang mempengaruhi mortalitas penyu.

Hal yang disampaikan pada konferensi pers di Media Center, Jumat (31/1/2020) ini baru sebatas jawaban teka-teki kematian penyu. Bagaimana nasib populasi penyu yang lain, terhindarkah dari bakteri salmonelanisis ini.

Seperti yang diucapkan Asisten II Pemerintah Provinsi Bengkulu, Yuliswani, jika misalnya ada yang menyatakan kematian ini karena limbah, segera dibuktikan supaya ada pembanding dari yang telah dilakukan seluruh instansi ini. Belum adanya solusi dari apa yang disampaikan.

Hal serupa juga disampaikan Kepala BKSDA Bengkulu, Donal Hutasoit, releas terkait uji lab telah dilakukan pihaknya di Lab Balai Besar Kementerian Pertanian Veteriner Bogor dan Lab IPB, mendapati hasil bahwa tidak ditemukan benda asing atau zat kimia penyebab kematian penyu.

“Terhadap belasan sampel penyu, cairan di dalam tubuh masih di bawah ambang batas, sehingga bukan itu (limbah bahang) penyebab kematiannya,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Dokter Hewan BKSDA Bengkulu dr. Yanti, mengatakan, menurutnya terhadap kondisi penyu dan hasil bedah yang dilakukan, terindikasi bahwa racun yang berada di dalam tubuh berasal dari alam, bukan zat kimia.

“Di tubuh penyu makanannya normal, maksudnya saat saluran cernanya kita buka makanannya normal, tidak ada tidak ada sampah. Ternyata di labnya seperti itu sama seperti di lingkungannya,” ungkapnya.

Kepala Dinas LHK Provinsi Bengkulu Sorjum Ahyan mengatakan, dari hasil pengujian air laur yang dilakukan pihaknya mulai dari kawasan Sungai Hitam hingga Teluk Sepang pada 10 titik yang berbeda, dihasilkan bahwa air laut masih memenuhi baku mutu air laut.

“Jadi sudah dilakukan pengujian sampel air laut oleh pihak kementerian LHK. Buku mutu air laut memenuhi sesuai dengan Permen LH nomor 51 tahun 2004,” kata Sorjum.

Sementara itu, Kepala BMKG Bengkulu Kukuh Ribudiyanto menerangkan, terkait banyaknya buih di air laut pada 22 hingga 24 desember 2019 lalu, berdasarkan laporan dan analisis pihaknya, hal tersebut bukan merupakan akibat limbah namun akibat dampak atas banyaknya plankton yang muncul sehingga menimbulkan buih.

“Ini kita buktikan dengan koordinasi BMKG Lampung dan beberapa kejadian di Jawa Timur, ternyata buih sebagai tanda banyak plankton disitu yang muncul yang kita sebut a feeling plankton, kalau begitu hangat plankton yang banyak itu berbentuk buih,” tuturnya.

Disamping itu juga disebabkan terjadi suhu muka laut dengan penyimpangan (anomali) dingin di perairan sebelah barat Bengkulu antara September hingga awal Desember dan mulai menghangat kembali pada pertengahan Desember hingga sekarang.

Dari pemaparan itu, belum adanya solusi untuk mengatasi penyebab ini. Tidak menutup kemungkinan, bahwa akan ada lagi penyu yang mati.(red/kay)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.