Feminisme dalam Pemilu 2024

Oleh: Jeni Melisa, M.H.

Phrnews.id – Partisipasi perempuan di politik baik dari keikutsertaan dalam kontestasi maupun melalui kelembagaan pengawas dan penyelenggara pemilihan penting untuk terus didorong, seperti yang kita ketahui dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu legislatif dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik (Parpol), kota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30%, terutama untuk duduk di parlemen.

Bahkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, telah disebutkan adanya pernyataan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum, dan dalam pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang
pemilihan umum, menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilhan umum juga harus memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan, begitupun dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum yaitu keterlibatan perempuan minimal 30% dalam penyelenggaraan pemilihan umum, hal ini mengatur bahwa komposisi keanggotaan penyelenggara dan pengawas harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Jika berbicara tentang regulasi dan aturan dalam UU tersebut sudah dikatakan dan dijelaskan bagaimana dukungan negara terhadap keikutsertaan perempuan dalam pesta demokrasi.

Namun pada hari ini, UU tersebut belum dapat dijalankan dengan baik, baik dari partai politik, KPU, dan Bawaslu. Ada banyak faktor tidak dapat diwujudkannya angka minimal keterwakilan perempuan dalam pemilu, salah satunya SDM yang belum memadai serta pemilu yang dianggap masih belum ramah terhadap hadirnya perempuan. Sehingga lebih ditujukan kepada kaum laki-laki.

Jika kita berbicara mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu “sex” dan “gender”. Dari sudut pandang sex, laki-laki dan perempuan dilihat secara berbeda berdasarkan kelamin. Sementara itu dari sudut pandang gender, laki-laki dan perempuan dilihat secara berbeda berdasarkan aspek peran dan fungsi sosial.

Hingga kini peran perempuan masih dilihat secara sempit pada sektor domestik rumah tangga, sedangkan peran laki-laki dilihat secara luas pada sektor publik. Akibat cara pandang ini maka lahirlah yang namanya gerakan feminisme yang kemudian diakui sebagai gerakan afirmatif action dalam setiap proses sosial, politik, dan legislasi untuk mendapatkan keadilan gender.

Pembedaan laki-laki dan perempuan ini kemudian melahirkan dua paradigma gender, yaitu “maskulin” dan “feminim.” Paradigma maskulin melihat kehidupan sebagai realitas yang keras. Sedangkan paradigma feminim melihat kehidupan sebagai realitas yang lembut. Jika dilihat Berdasarkan paradigma ini, maka proses pemilihan baik pemilu maupun Pilkada selama ini dapat dimaknai sebagai proses yang keras, atau dapat dikatakan Pilkada yang bersifat maskulin. Lihat saja berapa banyak kasus kekerasan fisik, verbal, dan psikis yang muncul, baik kepada penyelenggara, tim/relawan pasangan calon, maupun kepada pemilih. Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan pembagian kuota partisipasi perempuan menjadi lebih sedikit baik dari kaum perempuan itu sendiri juga dari pemangku kebijakan.

Gerakan feminisme sebenarnya tidak hanya memperjuangkan kesempatan perempuan untuk dapat mengisi post-post penting disektor publik. Namun juga memperjuangkan hadirnya sistem nilai atau tatanan yang bersifat feminim. Ini dimulai dari proses legislasi, agar peraturan perundang-undangan dapat menindak dan membendung terjadinya segala peristiwa yang bersifat maskulin. Demikian juga pada dimensi Pilkada dan Pemilu. Ide feminisme perlu didorong dalam regulasi pemilihan/pemilu agar Pilkada dan Pemilu dapat dilaksanakan secara lembut tanpa adanya kompetisi yang diwarnai kekerasan dan ancaman. Maka hadirnya perempuan dalam proses pengawasan atas pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu perlu terus ditingkatkan dan digaungkan salah satunya dengan mendukung dan memperbanyak pengawas partisipatif dari perempuan.

Pengawasan partisipatif merupakan wadah kolaborasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan masyarakat dalam meningkatkan fungsi pencegahan dan pengawasan.

Kehadiran masyarakat untuk menggaungkan pemilihan yang bersifat lembut dan tanpa adanya kekerasan perlu ditingkatkan, kesadaran partisipasi masyarakat khususnya perempuan yang memang sudah disebutkan dan diberi ruang khusus untuk dilaksanakan secara optimal guna melakukan pengawasan dan mengawal proses demokrasi ke arah yang lebih baik.

Maka dari itu, keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan Pemilu menjadi langkah strategis untuk mengawal dan memastikan proses demokrasi yang bersih jujur dan adil sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang amanah dan berkualitas.

(Jeni Melisa, M.H. merupakan alumnus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bengkulu dan sekarang menjabat di PW Fatayat NU Bengkulu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.